Berawal dari rasa “ketidakpuasan” saya saat menggunakan Ubuntu, belakangan ini saya memutuskan untuk “melepaskannya” dan berpindah haluan dengan menggunakan Arch Linux.
Pada tulisan kali ini, saya sedang membicarakan mengenai Sistem Operasi Linux yang memiliki berbagai macam distribusi, contohnya saja, yang telah saya sebutkan di atas, yaitu Ubuntu dan Arch Linux. Beda distro (sebutan lain distribusi), ya beda pula rasanya, dong. Sebenernya itu kembali kepada selera masing-masing pengguna Linux, mau menggunakan distro Ubuntu, Fedora, atau yang lainnya, yang penting kan kita masih satu keturunan. Iya, tidak?
Saat menggunakan Ubuntu saya merasa sangat nyaman sekali. Tampilannya yang begitu user friendly membuat saya seringkali terlena. Tinggal klak-klik klak-klik kemudian beberapa perintah sudah dapat terlaksana. Tidak berbeda jauh dengan saat menggunakan Windows. Mungkin cuma beda tampilannya saja. Coba saja kalian gunakan Ubuntu selama seharian penuh, saya rasa kalian sudah mulai mahir menggunakannya.
Tapi, lama-kelamaan saya mulai merasakan ada sesuatu yang ganjil. Yaitu pada saat muncul versi Ubuntu yang terbaru. Bila ada versi yang terbaru seharusnya pengguna Ubuntu merasa senang. Iya, kan dari segi tampilan biasanya dibuat lebih fresh dibanding versi sebelumnya, dan juga dari segi security-nya biasanya selalu ada perbaikan. Harusnya senang, dong? Iya saya senang, tapi entah kenapa saya tidak sesenang orang yang seharusnya senang-senang.
Untuk merasakan versi yang terbaru tersebut, pengguna dapat melakukan 2 cara. Cara yang pertama yaitu upgrade Ubuntu. Cara yang kedua yaitu fresh install, dengan cara menginstall ulang Ubuntu dengan Ubuntu versi terbaru.
Saya sudah pernah mencoba 2 cara tersebut. Karena Ubuntu waktu rilisnya kurang lebih setiap 6 bulan sekali, otomatis pengguna Ubuntu yang ingin merasakan versi yang terbaru tersebut harus merelakan versi yang lama (beserta aplikasi yang sudah terinstall di dalamnya) diganti dengan yang terbaru.
Contohnya saja Ubuntu 13.10 yang sudah rilis ini. Saya ingin sekali menginstallnya, tapi di Ubuntu 13.04 saya sudah menginstall terlalu banyak aplikasi. Sayang sekali rasanya apabila terus menerus seperti itu setiap 6 bulan sekali. Fresh install tentunya bukan pilihan yang tepat. Tapi setelah upgrade langsung yang saya rasakan adalah Ubuntu saya menjadi sedikit lebih berat. Apa yang sebaiknya dilakukan?
Welcome to The Arch Linux World
Dari beberapa kendala tersebut, saya mulai berpikir di luar kotak yang ada. Saya coba mencari-cari informasi di Internet, dan ternyata saya menemukan pencerahan di sana. Beberapa pengguna Linux juga mengeluhkan hal yang sama dengan saya. Sebenarnya yang diinginkan adalah adanya distro Linux yang dapat digunakan untuk selamanya. Tidak seperti beberapa distro Linux yang hanya memberikan update selama jangka waktu tertentu. Dari pencarian yang saya lakukan tersebut, beberapa pengguna Linux menyarankan untuk menggunakan Arch Linux.
Mereka mengatakan Arch itu rolling release GNU/Linux Distribution. Dari halaman berikut disebutkan bahwa
If you are looking to obtain the latest Arch Linux release, you do not need to reinstall. You simply run the
pacman -Syu
command, and your system will be identical to what you would get with a brand-new install.
“Ya, sepertinya inilah yang saya cari-cari selama ini,” pikir saya dalam hati.
Petualangan baru bersama Arch Linux pun akan segera dimulai, maksud saya sudah berjalan 2 hari. Baru saja hari kemarin saya memutuskan untuk menginstall Arch Linux. Ternyata cukup menantang sekali, semuanya harus dilakukan dengan menggunakan terminal alias command prompt. Mulai dari partisi harddisk sampai dengan instalasi, begitu juga dengan konfigurasi.
Secara default Arch memang tidak menyertakan default DE (Desktop Environment) nya. Sehingga kita bebas memilih, mulai dari GNOME, KDE, LXDE, XFCE, sampai yang ringan-ringan, seperti Fluxbox dan Openbox. Dari sekian banyak DE tersebut, pilihan saya akhirnya jatuh kepada OpenBox. Beberapa referensi yang saya temukan di Internet menyebutkan bahwa banyak pengguna Arch yang menggunakan OpenBox sebagai DE-nya. Ya, atas dasar itulah saya mencoba untuk menggunakannya.
Ternyata benar, mereka menyarankan Openbox karena Openbox sangat ringan sekali. Tentu saja ringan, karena Openbox hanya menyediakan environmentnya saja, namun tidak dengan paket aplikasinya. Ini serius. Pokoknya jadi tambah menantang lagi deh. Saya harus menginstall aplikasi-aplikasi yang diperlukan sebagaimana mahasiswa komputer perlukan, kemudian pemutar musik, video, dan lain sebagainya.
Secara keseluruhan, saya menjadi lebih puas dengan menggunakan Arch. Saya belajar banyak hal, mulai dari instalasi hingga konfigurasinya, dan saya juga belajar bagaimana membangun sistem operasi yang stabil versi saya sendiri, dengan menentukan aplikasi mana yang cocok untuk di-install dari berbagai macam aplikasi sejenisnya. Namun, tentunya saya juga perlu menyesuaikan dengan lingkungan yang baru sekarang. Iya, karena beda distro sudah pasti beda rasanya, beda command-commandnya dan lain sebagainya. Tak apalah, mungkin ini hanya masalah kebiasaaan saja, lama-kelamaan siapa tau saja sudah terbiasa.
Ohya sebelumnya saya ingin memberikan screenshot Desktop baru saya (cieileh), karena semua orang pasti suka Screenshot. 🙂
Welcome to the Arch Linux World!
Tulisan saya ini tidak bermaksud menyudutkan distribusi Linux lainnya, hanya saja sekedar sharing mengenai sedikit keluhan saya saat menggunakan distribusi-distribusi tersebut. Saya hanya pengguna Linux biasa, bila ada informasi yang kurang tepat sebaiknya berikan suara Anda pada kolom komentar di bawah ini. Terima kasih! 🙂
Latest posts by mahisaajy (see all)
- Selamat Purna Tugas - November 19, 2024
- ESRI Professional Fellowship Program 2023 - January 14, 2024
- Pemanfaatan OSM dalam Mendukung Pemenuhan Data Spasial di Instansi Pemerintah Indonesia - January 13, 2024
kalo saya yang penting reponya lancar 🙂 dan dukungan aplikasi yang saya inginkan ada 🙂
Iya mas betul, itu salah satu faktor yang harus diutamakan. Beruntung, saya belum mengalami beberapa kendala yang serius saat menggunakan Arch Linux. 😀
Ini salah satu tulisan catatan migrasi Linux – Linux terbaik dalam Bahasa Indonesia. Mendetail, menjelaskan inti permasalahan (lihat bagian penjelasan rolling release disambung dengan pendapat pribadi), lalu memberikan skrinsot. Terima kasih, Kang Mahisa.
Archlinux memang lain dari yang lain. Benar-benar lain, karena sistem manajemen paketnya sudah berdiri sendiri. Benar-benar lain, karena Arch punya AUR yang sangat lengkap. Benar-benar lain, karena rata-rata penggunanya pengguna yang memiliki pemahaman. Keputusan bagus untuk beralih ke Arch, Kang.
Malsasa
#ubuntu-indonesia @ freenode
Terima kasih, mas ade malsasa =) .. Kayaknya memang Arch Linux itu cocok digunakan untuk orang yang memiliki semangat luar biasa dalam mengoprek Linux. Karena tantangannya beda sekali dengan distro-distro lainnya.
Bagi yang penasaran dengan Arch Linux bisa mencobanya. Jangan ragu dan jangan takut.. Hehehe..
Bang, saya pengguna Windows 7 dan mengalami keluhan tentang RAM. Kalau misalnya ganti Linux bisa jadi lebih lancar nggak? Terus, bagusnya pake Linux yang apa? Kayaknya Arch Linux bagus juga. Tapi sayangnya belum pernah megang Linux i. Thanks.
Wah jadi pengin nyobain saya mas https://mahisaajy.web.id/blog/ hanya saya masih perlu banyak belajar untuk lebih mengenal archlinux, karena memerlukan banyak paket data juga kayaknya ya mas. Saya masih setia menggunakan Debian testing vers Gnome dan saya merasa ini sudah lebih dari sekedar cukup hehehehe, takut kehilangan data bergiga2 saya.
$ sudo pacman -Syy
$ sudo pacman -Syu
??
Ada alternative lain bagi user yang ingin Rolling Release tapi masih mengutamakan Kestabilan, yakni openSUSE Tumbleweed.
Bedanya dengan Arch, Tumbleweed itu seperti distro umum lainnya yang proses instalasi berbasis GUI (YaST), dan sudah All In One, setelah install langsung pakai. Tapi sistem updatenya menggunakan Rolling Relelase.
Pencinta Rolling Relase pastilah pencinta software versi terbaru (latest version), karena kalau tidak, cukup pakai Ubuntu LTS saja sudah cukup kalau masalahnya adalah masalah saat dilakukan upgrade atau sangat “sayang” jika harus melakukan clean install.
Saya akui, Ubuntu kalau melakukan Major Upgrade mamang jadi tidak bagus lagi secara performa.
Itu jika inti permasalahannya adalah Regular Release VS Rolling Relelase, tapi jika masalahnya adalah Bloatware (Software yang tidak digunakan tapi ikut terinstall secara default), maka ArchLinux adalah “rajanya”, betapa tidak, Arch Linux ibarat sebuah buku tulis kosong yang terserah kita mau ditulis apa, kenapa ibarat buku tulis ?, karena Arch Linux itu tetaplah menyediakan Base (ibarat sampul buku, beberapa lembar kertas, dan disatukan dengan stapler), yang user lakukan hanya menginstall software tambahan dan mengkonfigurasinya.
Semua punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, versi regular update itu menjamin kestabilan pada user nya, karena melalui serangkaian proses yakni Alpha 1, Alpha 2, Beta 1, Final Beta, Release Candidate, dan akhirnya Final Release. Maka proses Engineeringnya matang,,, ibarat sebuah produk baru harus ditest segala kondisi dulu, bahkan konon katanya Ubuntu dalam proses Development melalui uji coba yang sangat keras.
Ubuntu itu ya sama kayak OS lain seperti Windows yang kalau ada versi baru maka cara paling optimal untuk menggunakan versi terbaru adalah dengan Reinstall, bahkan Windows 8.1 ke Windows 10 harus dilakukan Clean Install untuk mendapatkan hasil maksimal (sudah ane buktikan sendiri, upgrade dengan clean install itu beda jauh).
Distro Linux yang reguler Upgrade itu stabil dan cocok untuk Enterprise baik Desktop atau Server.
Bagi yang waktunya banyak untuk kerja daripada ngoprek, mending Ubuntu LTS atau Ubuntu Latest (Reguler) aja, tapi kalau user masuk kategori Geek mending pakai Arch Linux, openSUSE Tumbleweed saja, karena pasti risih kalau versi softwarenya tidak latest version.
Memang ya bro, kalau pakai software dengan versi lama itu bikin risih, coba aja install ClamAV dengan versi 1 tingkat lebih lama (prev stable release), pasti saat melakukan Freshclam (update definition) ada warning disuruh upgrade ke latest version, kan bikin risih 😀
Saya pribadi lebih memilih Ubuntu LTS atau openSUSE Leap kalau mau lebih lama waktu supportnya, karena meski saya juga orang IT, tapi waktu saya tidak cuma di depan komputer, dan ketika di depan komputer maka saya harus langsung bekerja mengerjakan pekerjaan saya, waktu untuk ngoprek, install ini itu, konfigurasi sangat terbatas,,, kalau saya pakai rolling release, nanti saya bakalan lupa waktu, lupa segalanya, lupa kewajiban dunia akhirat, karena hidup saya bukan cuma di dunia maya, bukan cuma di depan komputer 😀
2010-2013 ane pake ubuntu juga, cuma akhir 2013 juga mulai ngerasa bosen & coba2 pake distro lain. dah banyak yg dicoba, dari ubuntu ampe ke anak2anya, mint, pupy (iseng), centos, debian, bt,sl dll. akhirnya ditantang temen buat coba arch linux. berhubung masih muda & emang dipenuhi rasa ingin tahu & mudah terprovokasi ane coba install arch linux. 3 hr gak tidur & 1hr cuma buat coba2 panel (openbox) & backgroud yg pas doang & ampe sekarang distro dominan ane tetep arch linux.